Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang demikian pesat memberi dampak dalam mewarnai kepribadian
manusia. Berbagai adegan kekerasan dan kehidupan glamour yang ditayangkan
televisi mempengaruhi pola hidup konsumtif yang menjalar. Belum lagi berita
pertikaian, kerusuhan, kriminal, korupsi yang tak kunjung berhenti menjadi
sajian harian media cetak dan elektonik. Sehingga muncul pertanyaan “Kemanakah
pribadi bangsa Indonesia yang terkenal santun, tepo seliro dan menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur?” Semua gejolak sosial yang terjadi di masyarakat jika
ditarik benang merah maka semua itu tidak ada yang berdiri sendiri, hampir
seluruhnya merupakan akumulasi berbagai faktor yang merupakan inheren dengan
problem manusia dan masyarakat modern.
Dan untuk menjawab semua persoalan
itu dunia pendidikan menjadi tumpun harapan sebagaimana tertung dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kreatif dan mandiri.
Tujuan ini menjadi landasan untuk membentuk karakter anak bangsa. Seperti yang
dikemukakan oleh Cordero bahwa pendidikan memiliki tiga fungsi: (1) menjaga
kebudayaan suatu masyarakat dan mewariskannya pada generasi berikutnya. Lembaga
pendidikan merefleksikan nilai-nilai dominan suatu masyarakat; (2) Pendidikan
sebagai agen sosialisasi utama; (3) Pendidikan sebagai tempat belajar
prinsip-prinsip yang akan mendasari perilaku seseorang sebagai warga
masyarakat. Sementara itu menurut
Gravissium Educationis bahwa fungsi pendidikan adalah menumbuhkan
nilai-nilai luhur, yang dikuatkan oleh Robert Drebeen (1960) bahwa pendidikan
menjadi ajang belajar tentang kemandirian (independence),
prestasi (achievement) dan
nilai-nilai universal.
Jadi dapat dipahami dengan melalui
pendidikan yang baik seseorang dapat survive baik secara individual maupun
sosial di dunia ini. Sebagaimana Allah berfirman, ”Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah (kami tulis
dahulu dalam lauhul Mahfudz) bahwasanya
bumi ini dipusakai oleh hamba-hambaKu yang shaleh”.(QS. Al Anbiya 105).
Muhammad Al Ghozali menafsirkan ayat ini bahwa dunia ini hanya akan diberikan
kepada orang-orang yang shaleh, yakni mereka yang memiliki kualitas dan
kemanusiaan yang tinggi. Seperti yang ia tulis “The reference here could be to ”the land” of paradise or to land here
on earth, in the sense that supremacy and domination on earth will ultimately
be given to those who deserve them as result of their moral and humanity qualities”.
Maka dapat ditarik sebuah kesadaran
dengan bermodalkan kesalehan baik ritual maupun sosial suatu bangsa akan
sejajar bahkan unggul dibanding bangsa lain di tengah-tengah persaingan gobal
dunia.
Kesalehan itu hanya mampu diperoleh
melalui pendidikan karakter. Seperti yang disampaikan oleh presiden Republik
Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pembangunan karakter (character building) sangat penting. Kita
menginginkan bangsa ini memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban
demikin itu dapat diraih jika masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang
baik (good society), masyarakat yang
bermoral, beretika, bertutur, dan berperilaku baik. Dan pendidikan memegang
peranan penting karena melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang
dapat menumbuhkembangkan karakter positif serta mengubah watak yang tidak baik
menjadi baik. Jadi pendidikan merupakan wahana untuk menumbuhkembangkan
karakter anak. Terlebih pendidikan anak usia dini dengan pembiasaan dan
keteladanan diharapkan dapat membantu
meletakkan dasar ke arah pengembangan sikap, perilaku, perasaan, kecerdasan,
sosial dan fisik yang diperlukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Di samping keluarga sebagai pembentuk
karakter anak pertama dan utama. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda” Muliakan anak-anakmu, dan didiklah mereka
dengan baik” (H,R. Ibnu Majah) dalam hadis lain dikatakan” Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari
orangtua kepada anaknya selain pendidikan yang baik” (H.R. Baihaqi). Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan
sebaik-baik hadiah dan perhiasan paling indah yang diberikan oleh orang tua dan
guru kepada anak dan muridnya, yang merupakan nilai yang jauh lebih baik dari
pada dunia dan segala isinya.
Keluarga yang
dibangun dengan penuh kehangatan, kedamaian, disiplin yang dibalut cinta dan
kasih sayang akan memberi dampak positif pada karakter anak. Cinta akan
meluhurkan budi manusia dalam bergaul dengan sesamanya sehingga pandangannya
tidak akan dibatasi hanya oleh pertalian darah, suku, etnis, golongan, dan
kepentingan tertentu. Dengan cinta seseorang akan selalu mengedepankan dialog
dan perdamaian serta menghindari kekerasan, karena segala macam bentuk kekerasan merupakan ekspresi dari
wujud manusia yang kehilangan cinta (kasih sayang). Manusia yang kehilangan cinta akan
memperturutkan naluri destruktifnya.
Mengingat pentingnya pendidikan
karakter yang harus dimulai sejak usia dini maka pemerintah memberi perhatian
besar terhadap pendidikan anak usia dini
yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam pasal 1 butir 14 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir samapi usai
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Upaya pemerintah dan
kepedulian masyarakat terhadap pendidikan anak usia dini merupakan langkah
cerdas dan strategis membentuk karakter anak. Diharapkan pendidikan anak usia
dini dapat memperbaiki pendidikan masyarakat dan meningkatkan kualiatas sumber
daya manusia Indonesia. Menurut Dr. Ade Kusmiadi kepala
P2PAUDNI Regional 2 Jawa Tengah menyatakan bahwa pendidikan karakter pada anak
usia dini dapat dilakukan dengan pembiasaan dan keteladanan baik segi bahasa
dan perilaku, contoh anak mengenal dan melaksanakan pola hidup yang sopan,
berkata santun. Pendidik dan orang tua bersinergi bagaimana membentuk anak yang
berkarakter dengan mengembangkan empat
hal pokok pendidikan yaitu olah pikir, olah hati, olah rasa, olah raga. Dari aspek olah pikir menghasilkan anak yang
cerdas, aspek olah hati menghasilkan anak yang jujur, dari aspek olah rasa
menghasilkan anak yang berempati dan dari aspek olah raga menghasilkan anak
yang disiplin. Keempat karakter itu bagaimana ditanamkan dan dapat terinternalisasi
dalam pribadi anak. Keempat karakter itu terpatri kuat dalam jiwa anak yang
membentuk kepribadiannya. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Berlaku jujurlah kalian karena kejujuran itu
menunjukkan ketakwaan dan ketakwaan itu mengantar kalian ke surga. Seseorang yang senantiasa
berlaku jujur dan berusaha mencari kejujuran niscaya dicatat di sisi Allah
sebagai orang yang jujur” (HR. Bukhori), dalam hadits lain diperintahkan, “ Ajarilah anak–anak kalian berenang dan
memanah...” (HR. Ad Dailami), sedangkan dalam hadits lain disebutkan “ Tiada suatu sikap lemah lembut pun dalam sesuatu hal kecuali sikap
lemah lembut itu menghiasinya dan tidak sekali-kali sikap ini dicabut dari
sesuatu melainkan hal ini akan memburukkanya” (HR. Adh Dhiya dari Anas Bin
malik).
Agar seorang anak memiliki karakter
yang kuat maka hal yang dapat dilakukan dengan menggali nilai-nilai kultural
yang telah disediakan oleh lingkungan kita. Sementara itu menurut Dr. Sri
Dewanti, MPd. Ketua Litbang Himpaudi Propinsi Jawa Tengah agar mampu membentuk
anak yang berkarakter perlu sinergi baik dari sekolah, keluarga dan masyarakat
dan ketiga pusat pendidikan itu harus dapat saling kontrol sehingga anak dapat
tumbuh kembang secara optimal untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
selanjutnya. Strategi yang digunakan dapat dilakukan dengan mengembangkan
nilai-nilai budaya yang telah berakar dalam masyarakat. Dari beberapa pengertian di atas,
kita pahami bahwa karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang
dipatrikan untuk menjadi semacam nilai intrinsik dalam diri kita dan mewujud
dalam suatu sistem daya juang yang akan melandasi pemikiran sikap dan perilaku
kita. Karakter tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus kita
bentuk, kita tumbuh kembangkan, dan kita bangun secara sadar dan sengaja.
Dikemas sedemikian rupa dan disampaikan sesuai dengan kemampuan daya pikir
anak. Dari pendapat di atas dapat
dipahami jika kurikulum PAUD yang meliputi aspek nilai-nilai agama dan moral,
aspek fisik motorik, aspek kognitif dan aspek sosial emosional harus dapat
dikembangkan dengan seimbang sesuai dengan kebutuhan anak. Pendidikan anak usia
dini harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh lingkungan di
sekitar anak yang meliputi faktor budaya, keindahan, kesenian dan
kebiasaan-kebiasaan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena merupakan
peletak dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya
maka dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat stimulasi dan
upaya-upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang berbeda satu
dengan dengan yang lainnya. Dan dalam pembelajaran tetap memegang
prinsip-prinsip: a) bermain sambil belajar; b) berorientasi pada
prinsip-prinsip perkembangan anak; c) berorientasi pada kebutuhan anak; d)
kreatif dan inovatif; e) didukung oleh lingkungan yang kondusif; f) menggunakan
pembelajaran terpadu; g) mengembangkan ketrampilan hidup; berpusat pada anak;
h) demokratis; dan j) bermakna.
Pendidikan pada anak usia dini pada
dasarnya meliputi seluruh upaya dan
tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan,
pengasuhan dan pendidikan pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan
dimana anak dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan
kepadanya untuk mengetahui dan memahami pengalaman belajar yang diperolehnya
dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan bereksperimen yang
berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan
anak. Karena anak merupakan pribadi unik dan melewati berbagai tahap
perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan
orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi
berbagai pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keuinkan
anak-anak dan disesuaikan dengan tahap perkembangan kepribadian anak. Misal:
anak dibiasakan berdoa sebelum makan, tidur dan melakukan aktivitas lain, anak
dibiasakan berkata santun, membuang sampah pada
tempatnya maka anak akan terbiasa untuk melakukan hal tersebut meski
tanpa didampingi oleh orang tua maupun gurunya. Hal ini dapat menjadi kenyataan
karena karakter anak sudah terbentuk.